Sunday, July 24, 2011

It's A Combo Hit!

Ini adalah masa sakit terpanjang seumur hidup Esha. Campak dan cacar air beruntun. Mudah-mudahan dia semakin kuat dan belajar sabar dari sakitnya ini.

Awalnya dua minggu yang lalu, hari Senin (11/7) pulang sekolah dia mulai bersin-bersin dan meler. Ingusnya cair dan bening. Selasa malam, dia demam dan panasnya langsung tinggi, sampai 40'C. Takut kejang, saya kompres dan kasih paracetamol. Sepanjang malam itu dia tidur nyenyak. Rabu pagi, panasnya turun dan dia juga udah ceria lagi dan bisa main-main seperti biasa. Nafsu makannya pun baik-baik saja. Kamis, demamnya datang lagi dan di kaki dan tangannya mulai muncul bintik-bintik merah. Saya coba tekan kulitnya dan ruamnya hilang. Agak tenang karena sepertinya bukan demam berdarah, lagipula demamnya tidak terus menerus tapi naik-turun. Sempat curiga itu Roseola, tapi kok bintiknya muncul berbarengan dengan demam. Jadi hari itu juga kami bawa Esha ke dokter. Karena dia sangat-sangat jarang ke dokter (terakhir adalah Agustus tahun lalu waktu dia muntah-muntah karena gangguan pencernaan), maka mengamuklah dia di ruang periksa. Ayahnya, suster, dan saya harus 'melumpuhkan' dia supaya bisa diperiksa. Tapi tetap saja kami kalah (iya, tenaga Esha memang LUAR biasa), akhirnya cuma di-check sekilas gitu aja dan diagnosa-nya radang tenggorokan.

Saya tanya : kenapa ingusnya cair dan meler terus?
Dokter bilang : karena terhubungnya THT
Saya tanya : kenapa muncul bintik-bintik?
Dokter bilang : efek dari demam tinggi beberapa hari lalu.

Dikasihlah antibiotik Longcef (Indikasi: Infeksi saluran nafas, kulit, dan jaringan lunak). Duh, kalo udah pake antibiotik gini paling gak suka. Tapi liat Esha batuk-batuk dan makin lemes, sepertinya itu yang terbaik. Kurang sreg karena pemeriksaannya sekilas banget (ya, saya memang ibu yang skeptis dan baru puas kalo udah ngobrol panjang lebar sama dokternya).

Jumat, demam masih naik-turun dan ruam merah mulai muncul di lengan, paha, muka. Matanya super sayu dan merah (ciri khas campak). Ruam di sekeliling matanya bikin dia keliatan sakit banget. Ah, sudah... ini sih campak. Alhamdulillah dia masih mau makan dikit-dikit pagi itu.

Campak
Penyebab: Paramyxovirus
Gejala : demam, sakit tenggorokan, hidung meler, kunjungtivitis (peradangan selaput ikat mata), bercak koplik di mulut, nyeri otot, dan ruam kulit. Gejala-gejala ini sangat khas sehingga tiap orang tua pasti akan tau anaknya kena campak jika ini terjadi.

Sabtu, ruamnya makin banyak. Masa keluarnya semua ruam ini yang paling menyiksa. Si anak akan kelihatan sangat sakit dan lemah. Esha sendiri betul-betul gak berdaya. Banyak tidur dan samasekali gak keluar kamar. Susah banget makannya cuma mau air putih. Susu yang biasanya bisa habis 750cc tiap hari cuma masuk seperempatnya aja. Akhirnya harus saya paksa-paksa buat makan, soalnya penyakit viral gini kan obatnya cuma antibodi. Kalo badan gak dikasih asupan gizi yang cukup, bahaya. Apalagi komplikasi dari campak lumayan bikin stress : bronkhitis, pneumonia (yang seringkali berujung kematian *glek*), dan ensefalitis (radang otak). Jadilah saya paksa dia makan dan susu-nya saya campur GiziKita.

Minggu, demam turun dan gak naik lagi. Alhamdulillah. Ruam udah full, kasian banget liatnya. Dia mulai mau makan dan ngemil. Susu juga mulai banyak lagi. Mulai cerewet-cerewet lagi, mewarnai, dan lompat-lompat di kasur padahal badan baru enakan dikit -_-"

Senin, no more demam dan meler. Makan mulai banyak. Dia udah keluar kamar dan bisa beraktivitas. Tapi di keningnya muncul bintil yang isinya air. Apa nih? Baru juga pikiran tenang dikit, udah ada lagi yang lain. Duh, Gusti... tiap hari googling teruuuusss, dan kali itu saya gak nemu jawabannya (ha! there are actually things Google can't tell :p). Cuma satu-dua kasus yang bilang setelah campak muncul bintil air. Itupun penjelasannya gak mumpuni, bisa dibilang cuma kebetulan-kebetulan. Hari yang sama, bintilnya juga muncul di pantat dan kaki. Waduh. Saat itu saya pikir itu cuma bawaan campak aja (which is sebenernya gak mungkin). Apakah infeksi? Tapi kok bintilnya besar, sekelilingnya gak merah atau bengkak, dan serum (air di dalam bintil)nya jernih. Kalo infeksi pasti bernanah dan merah. Oke, tidak perlu ke dokter. Toh Esha juga sehat-sehat aja, gak ada demam susulan atau apapun. Dia bener-bener seperti hari-hari biasa.

Selasa sampai Kamis, ruam mulai pudar tapi bintil air bermunculan di tempat-tempat lain. Semakin gak tenang. Apalagi waktu bintilnya pecah dia bisa nangis banget sambi bilang "sakit... sakit..." huaaa... gak tega liatnya :( Susah banget dimandiin, tapi dia harus selalu bersih. Jadi kembalilah saya 'jahat' dan paksa dia buat mandi. Esha tuh paling gak bisa ditipu-tipu dan untuk membujuk dia butuh waktu panjang (yang saya gak bisa lakukan karena saya super tidak sabaran orangnya, beda sama si ayah...). Akhirnya dia mau mandi pake air campur Dettol dan keramas juga sambil sesekali dia atur-atur nafas kayak orang mau melahirkan. Buat mengontrol diri dan ngurangin sakit, kali ya. Pengen banget segera ke dokter, tapi kalo nanti Esha ngamuk lagi dan pemeriksaan gak tuntas terus cuma dapet diagnosa yang gak memuaskan plus obat yang gak perlu kan percuma. Aduuuuhhh...

Jumat, saya dan ayah memutuskan dia harus ke dokter buat mastiin kenapa bintilnya makin banyak. Jadi sejak pagi saya udah bujuk dia. Pokoknya ngomong udah panjang lebar lah sama dia. Oke, dia bilang, mau dokter dengan syarat si dokter atau suster gak boleh pegang dia samasekali. Saya bilang, "Oke. Nanti ibu bilang ke dokternya." Setelah baca-baca di internet, saya putuskan coba dulu pake krim Acyclovir buat bintil-bintilnya.

Sabtu, ke dokter. Dia samasekali gak lemes atau apa. Biasa aja gitu. Kecuali bahwa badan dan mukanya masih dihiasi sisa ruam dan bintil-bintil yang sebagian besar sudah pecah dan jadi lecet-lecet. Waktu nungguin masuk ruang dokter, saya udah deg-degan duluan ngeliatin nomer di atas pintu berubah menjelang nomer 17. Begitu giliran Esha, dia langsung digendong ayah dan gak dilepasin selama di ruang dokter. Si dr. Prastya-nya pun udah siap karena pengalaman sebelum itu. "Nggak dipegang kok, periksa jarak jauh aja." Saya jelasin dari A sampe Z apa yang terjadi sejak kunjungan terakhir itu, terus dikasih liat bintil-bintilnya.

Dokter bilang : "Cacar air ini, bu.. Waw, sudah banyak dan besar-besar."
Saya bilang : "Kalo pas pecah gitu dia sampe kesakitan banget, dok."
Dokter bilang : "Iya, itu karena sudah jadi krusta. Kalo digaruk bisa bernanah dan infeksi."
Saya bilang : "Dua minggu lalu ayahnya kena Herpes."
Dokter bilang : "Nah iya, memang masih berhubungan itu."

Obatnya puyer buat virusnya (tapi manis! karena puyer sekarang dicampur glukosa), dan antibiotik Dexyclav (indikasi: infeksi yang disebabkan bakteri, termasuk -pada kasus Esha- jaringan lunak dan kulit). Krim Acyclovir-nya masih terus dipake, oles 5 kali sehari (dioles sekali aja udah susah bener, apalagi 5 kali? -_-" grant us strength and ease, dear God).

Semuanya baik-baik saja. Esha makan, minum susu, ngobrol seperti biasa tapi rasa gatal dan perih-nya yang sangat 'melumpuhkan'. Dia jadi sibuk garuk-garuk diiringi seruan saya dan ayahnya "Esha, stop! Esha, jangan! Esha, nanti luka dan infeksi!", terus kalo pas perihnya dateng dia udah males ngapa-ngapain. Baringan aja sambil nonton film kartun sambil minta dikipasin. Memandikan dan olesin obatnya juga jadi tantangan buat ayah-ibunya :(

Saya percaya semuanya akan berakhir baik. Kasarnya, lebih baik dihajar abis-abisan di awal tapi menang di akhir. Habis ini, Insya Allah ga kena sakit-sakit 'wajib' macam begini lagi. Tinggal jaga daya tahan tubuhnya aja dan belajar jauh lebih sabar buat ajarin dia untuk sabar menghadapi sakitnya. Two viruses in a row! Phew. Saya dulu kena campak umur 3 tahun, dan cacar waktu kelas 6 SD. Ayahnya kena cacar waktu SMA kelas 1. Nah Esha? Luar biasa. Tuhan tau cara terbaik buat bagi-bagi rejeki dan ujian. Semua dapet takarannya masing-masing yang paling pas dan cocok. Jadi saya yakin Esha memang kuat buat semua ini. Yang saya sesali cuma, kenapa waktu ayahnya Herpes kok saya gak betul-betul menjauhkan Esha dari dia. Ya sudahlah.

Jadi, ibu-ibu yang anaknya belum kena cacar air, virus Varicella-Zoster ini penyebab cacar yang setelah sembuh akan tetap 'sembunyi' di ganglion untuk kemudian bisa 'bangun' lagi jadi Herpes Zoster ketika daya tahan tubuh seseorang menurun ditambah stress, kurang nutrisi, dan lain-lain. Nah, kalau anak dekat-dekat penderita Herpes, kemungkinannya akan jadi cacar air.

Jangan lalai imunisasi ya, bu. Esha sudah imunisasi campak waktu umur 9 bulan, dan MMR (Measles, Mumps, Rubella) umur 15 bulan. Ketika umurnya bertambah, efektivitas vaksinnya akan menurun dan harus diulang waktu umur 4 tahun. Kalaupun kena setelah imunisasi, tidak akan terlalu parah sakitnya.

Mudah-mudahan kita semua selalu sehat dan yang sakit cepat sembuh :)

0 comments:

Halaman-halaman Lain...

 

Blog Template by YummyLolly.com - RSS icons by ComingUpForAir