Tuesday, March 23, 2010

The Snowman (1982)

Esha suka nonton, tapi dia tidak suka nonton sendiri. Yang menurut saya adalah bagus. Akhir-akhir ini dia sudah bisa nonton beberapa film animasi sampai selesai. Sambil terus-terusan bertanya sepanjang film tentang ini siapa, itu siapa, dia kemana, dia sedang apa... hihihi. Dia menikmati gambar-gambarnya, tapi tidak yakin mengerti ceritanya. Sampai tadi pagi...

Sambil sarapan, kami cari-cari gambar snowman di internet dan menemukan satu film pendek di YouTube tentang si manusia salju ini. Judul filmnya The Snowman, dan ini adalah animasi klasik bertemakan natal yang dibuat tahun 1982. Testimonialnya bilang ini salah satu film kartun sepanjang masa yang sangat menyentuh. Bercerita tentang seorang anak laki-laki yang membuat manusia salju yang tiba-tiba hidup dan mengajaknya terbang melihat dunia berselimut salju dan menemui St. Claus. Ceritanya hanya berputar di satu hari dan satu malam dengan durasi 30 menit. Esha menikmati film tanpa dialog yang ilustrasi musiknya sangat bagus itu (full orkestra). Dia juga tidak banyak tanya seperti biasanya. Cuma sesekali berkomentar, "Oh! Manusia saljunya dikasih senyum!" atau "Wah! Manusia saljunya banyak!"

Tibalah di bagian sedihnya, waktu sudah hampir pagi dan si manusia salju mengembalikan si anak laki-laki ke rumah dan dia kembali berdiri di halaman. Saya perhatikan Esha mulai berkaca-kaca waktu mereka saling melambaikan tangan dan si anak laki-laki memeluk manusia saljunya sebelum naik ke kamar. Waktu hari sudah pagi, matahari ternyata bersinar terang dan... si manusia salju sudah hilang karena dia meleleh. Esha menangis. Sambil terisak dia tanya, "mana... orang... sal... ju... nya?" bikin saya kaget dan jadi ikut nangis. Hihihi. Dia pun saya peluk dan saya bilang kalau salju itu es dan tidak tahan panas, jadi meleleh kena sinar matahari. Kalau saljunya banyak, bisa bikin lagi yang baru.

Wow. Either filmnya sangat bagus, atau emosi Esha sudah berkembang banyak. Saya bertanya-tanya apa dia bisa merasakan persahabatan si anak laki-laki dan manusia saljunya yang sangat intens meskipun singkat, apa dia juga ikut kehilangan waktu matahari melelehkan si manusia salju?

All in all, The Snowman bagus untuk ditonton bersama keluarga. Ceritanya bagus, soundtrack-nya bagus, musiknya bagus. Five stars! :)
Kalau penasaran, ini dia bagian terakhir yang bikin Esha nangis. Hihihi... Enjoy.

Wednesday, March 17, 2010

menyelam

saya sedang menginterogasi diri sendiri dengan pertanyaan; "apakah kamu sudah cukup meluangkan waktu dengan Esha?" dan itu sudah cukup untuk menampar.

hari ini saya tau betapa buruknya manajemen waktu saya di rumah. melakukan hal yang sama berulang-ulang dengan ritme yang tidak berubah (saya tidak perlu melihat jam saking 'disiplin'-nya jadwal harian saya) tidak berarti semuanya berakhir baik dan hasilnya brilian. kenapa? karena saya juga seorang ibu, bukan hanya pekerja domestik. ibu harus tau bahwa setiap hari anaknya berubah; perasaannya, hatinya, pikirannya, sifatnya, setiap atomnya. seorang ibu tidak bisa mengurus anaknya dengan jadwal yang sama terus menerus setiap hari seperti dia memasak atau membersihkan rumah. segila apapun kerjaan rumah, seorang ibu tidak boleh mengabaikan apa yang sedang anaknya ceritakan. saya sangat mengerti itu sekarang.

hari ini saya belajar lagi dari Esha. mulai dari pagi-pagi waktu dia minta biskuit dan cuma dimakan setengah dan sisanya dibuang ke lantai. seperti biasanya, saya -si bad temper- langsung ngomel-ngomel. betapa kagetnya saya waktu Esha tiba-tiba bilang, "ibu, jangan marah-marah. ngomong aja." hah? dan dia bantu saya membersihkan remah-remah biskuit di lantai. ooooof course saya tertohok. sangat! darimana dia tau kata-kata seperti itu dan bisa mengatakannya di saat yang saaaangat tepat? bukan sesuatu yang buruk. samasekali bukan. saya cuma merasa dipentung di kepala dan sadar bahwa anak perempuan saya bukan anak kecil lagi.

lalu, dua jam sebelum makan siang, saya membereskan setrikaan yang menumpuk. "Esha main sama beruang dulu, ya? sambil liat video Dea? (FYI, Dea itu penyanyi kecil dari surabaya. lagunya gak aneh-aneh dan Esha suka)" dan Esha mengiyakan. tapi, baru beberapa baju disetrika, dia bilang "ibuuuu ayo main-main sama Esha..." dan saya -si repot- bilang, "iya, sebentar ya. sedikit lagi kok." padahal masih numpuk. beberapa menit kemudian dia panggil-panggil saya lagi dan mulai berulah.
YANG -SEHARUSNYA- SAYA LAKUKAN: mematikan setrika dan bermain dengannya
tapi, YANG SAYA LAKUKAN: terus menyetrika sambil membujuk dia untuk main lagi TANPA melihat wajahnya
akibatnya: dia jadi cranky dan menangis
waktu saya menggendong dan memeluknya, dia bilang "ibu, ayo main-main..." sekali lagi dia menubrukkan satu truk gandeng ke dada saya. jangan tanya apa rasanya.

yang terakhir adalah sebelum tidur siang. seperti biasa dia suka sekali melompat-lompat di tempat tidur. saya bilang, "ayo bobo dulu." dia malah makin gencar melompat dan tidak mau mematikan TV. akhirnya saya pura-pura tidur. dia berhenti melompat, lalu merebahkan kepalanya di dekat saya. wajahnya menghadap wajah saya. "Esha mau bobo sama ibu." katanya sambil mengusap-usap pipi saya dengan tangan mungilnya. semenit kemudian dia terlelap.

membaca apa yang saya tulis tadi pasti yang terbayang adalah betapa saya adalah ibu yang lalai, jahat dan tidak sayang anaknya. saya juga merasa begitu. padahal saya duapuluhempat jam bersamanya dan full mengurusi keperluannya. tapi apa? saya tidak peka. secara tidak sadar saya sudah memasukkannya ke daftar kerjaan saya sehari-hari dan lupa untuk meluangkan saat yang berkualitas dengannya. saya bisa bilang mungkin itu karena saya lelah, kacau, dan bodoh. tapi itu tidak bisa jadi alasan. tidak boleh jadi alasan. saya seorang ibu, dan ibu tidak punya alasan untuk tidak jadi ibu yang baik. karena kemampuan itu pasti ada di setiap ibu dan harus dijadikan prioritas dengan cara: selalu sadar.

lalu, tentu saja akan ada yang bilang; ibu juga manusia - bisa bikin salah. tapi kalau tidak pernah belajar dari kesalahannya? namanya dungu. jadi ibu tidak boleh dungu.

Esha sudah besar. dia akan segera jadi remaja dan saya tidak boleh lagi mengabaikan apa yang sebenarnya dia ingin sampaikan.

hari ini saya; telanjang dan babak-belur...

Wednesday, March 3, 2010

the "Thinking Chair"

When still a teacher at a toddler school in Surabaya, I used to share with this mother a lot. She was a teacher herself for a primary school. Her son was two years old when he entered my music class. Such a shy boy. For several first meetings he would just stand behind his dad and wouldn't move a bit, leave alone to sing or dance. But then we managed to crack his shell :)

I guess everyone would know who he got the shell from, since his mom was such a sanguine that we would hang around with all day conversing with. While his dad was this quiet neat man who sometimes made me laugh with his awkward movement when music played during the class (but he got my thumbs up for his hearty try to fire up his son).

Okay, back to the missus, we usually had a talk when she took her younger son to exercise his gross motor skill in the morning. She would ask me how my pregnancy was going and tell me how he got her both boys delivered. Then she would tell me that Clark -the shy big brother- could be such a rebel at home and wouldn't stop talking. And every time he made a mess, she wouldn't do the pinch or shout but just simply asked him to sit in his "thinking chair" for 10 minutes. then after that she would pop the question; "Have you found what you did wrong?" and problem solved with no war whatsoever.

I always sighed at the idea. Almost like the "time-out" rule on the Nanny 911.

Now I can't think of sighing anymore. Well, I DO sigh - not in relieve, but at the edge of exploding. I can't seem to apply the "thinking chair" policy with Esha. Not because she doesn't get the idea, but because I stress out upfront. Way to go, mom.
But, sometimes, I just can't say or do anything anymore when she rebels and choose to just leave her alone and sit on my own. Surprisingly, it works the same effect; she would stop the racket and come up to me to apologize.

Well, I guess that's her thinking chair and, yes, silence works better than shouting. That's when you're not in panic.

Halaman-halaman Lain...

 

Blog Template by YummyLolly.com - RSS icons by ComingUpForAir